sultan mahesa

Liku-Liku Perniagaan Sarang Walet

Anda pemain baru di walet? Bersiaplah rugi saat mendobrak dunia perdagangan sarang burung ini. Para pembeli akan menekan harga 10% — 30% pada transaksi-transaksi awal. Namun bila sudah dipercaya, mereka antri.

Pengalaman pahit itu pernah dialami Rudy Senjaya. Pemilik toko buah di Muara Karang, Jakarta itu membawa 5kg sarang burung walet ke Singapura. Satu persatu toko para pembeli di sana didatangi. Hasilnya, sarang burung terjual dengan harga 30% lebih murah daripada harga pasar.

“Percuma kalau membawa 1 kg – 2kg, untungnya tipis sekali. Lebih baik dijual di dalam negeri. Toh, eksportir sarang ada di mana-mana,” kata Rudy. Pengusaha buah ini sebenarnya hanya ingin menjajaki peluang.

Kebetulan di Lampung banyak pengusaha walet yang mempercayainya untuk menembus pasar ekspor. “Prinsipnya asal mau kasih dia (importir, red) untung dulu, pasti mau terima,” tambahnya. Namun karena kesibukannya, pengiriman yang berjalan 3—4 kali terhenti.

Pengalaman serupa dialami pula oleh Dr. Boedi Mranata ketika merintis bisnis sarang walet. “Harganya rendah,” kata eksportir ini. Meskipun demikian, pemilik beberapa rumah walet itu tetap nekat menjual dengan harga “mepet”.

Jerih payahnya membuahkan hasil. Lama-kelamaan justru pembeli yang meminta barang, dan harga pun perlahan-lahan dinaikkan. “Saya kira ini biasa untuk semua bisnis,” paparnya.

Selain motivasi mencari untung besar, penampung sarang walet sangat berhati-hati menerima barang dari pemasok baru. Sebab, kerapkali terjadi sarang walet diberi tambahan beras ketan atau paku payung untuk menambah bobot. Ini sering baru diketahui ketika sarang dibersihkan sebelum diekspor.

Saling curiga

Tidak hanya pemilik sarang walet saja yang sulit menembus dunia bisnis ini. Pemilik modal yang mencari sarang walet untuk dijual lagi, juga akan menghadapi kendala serupa.”Jangan harap dengan segepok uang di tangan bisa mudah mendapatkan sarang,” ungkap Endin, penampung sarang walet di Indramayu.

Pedagang yang sudah jual-beli sarang walet 11 tahun ini menceritakan, ia mendatangi pemilik sarang walet langganannya di Jawa Tengah. Di seberang rumah itu ada rumah walet lain. Endin menanyakan, apakah mau dipanen dan dijual.

Jawaban pemilik rumah walet itu singkat, “Belum produksi.” Belakangan setelah orang itu diyakinkan oleh pelanggannya, Endin bisa membeli sarang dari rumah itu, yang ternyata sudah berproduksi di atas 4kg. Pemilik rumah walet tersebut khawatir, Endin hanya berpura-pura membeli untuk niat jahat.

Reputasi dan uang kontan dua modal utama untuk memperoleh dan menjual sarang. Ini teijadi karena sarang walet bernilai tinggi sehingga pembeli dan penjual bertindak ekstra hati-hati. “Dikatakan bisnis tertutup, mungkin ya,” kata Boedi Mranata.

Rasa tidak percaya pula yang mendorong eksportir kemungkinan besar mengatakan, stok masih banyak jika yang menawarkan sarang orang baru. Padahal, sebetulnya ia butuh.

Sikap hati-hati selalu diterapkan Shinta Dewi, eksportir sarang walet, saat ditawari barang. “Biasanya saya tanya dulu, dikenalin sama siapa, tahu nomor telepon sini dari mana, dan tetangga siapa. Takut yang ditawarkan itu sarang walet curian atau mau menipu,” katanya.

Seandainya jawaban pemasok meyakinkan, eksportir dengan tujuan Singapura, Hongkong, dan Amerika ini memintanya datang membawa contoh. Shinta pasti tidak mau datang ke tempat pembeli untuk menghindarkan risiko perampokan.

Rantai pasar yang pendek

Itulah kendala terbesar bagi para pemula untuk menembus perdagangan walet. Imbalannya, begitu tembok penghalang tertembus, uang mengalir deras.

Pedagang pengumpul seperti Endin, misalnya, bisa memperoleh marjin Rp250.000 -Rp500.000 per kilo sarang. Perannya cuma berkeliling ke sentra-sentra rumah walet, membeli, dan setelah banyak dijual ke eksportir.

Maijin sebesar itu juga diketahui oleh pemilik rumah walet, tetapi mereka tidak perduli. Tak terbetik niat menjual langsung ke eksportir. “Biarlah, mereka juga harus diberi kesempatan mencari makan. Bikin repot saja, yang penting kan sama-sama senang dan tidak dirugikan,” komentar Iyok, pemilik 3 rumah walet di Serpong, Tangerang.

Dibandingkan bisnis lain, rantai tata niaga di perdagangan walet memang relatif pendek. Dari produsen dibeli penampung dan diteruskan ke eksporitr.

Ada juga yang menjadi produsen merangkap eksportir. Para pengepul itu seakan menjadi jembatan antara pemilik rumah walet dan eksportir. “Eksportir tidak bisa menangani pemilik sarang volume kecil,” kata Dody Pramono, pemilik beberapa gedung walet di Patrol, Indramayu.

Stok sarang walet

Lewat para pedagang pengepul pulalah para eksportir mendeteksi usaha saingannya meraup untung tinggi. Pada musim kemarau, ketika produksi sarang walet turun, eksportir yang berniat menggaet banyak uang mengebom, pasar.

Caranya, eksportir itu sudah menumpuk stok cukup banyak. Ketika tiba saatnya, ia sengaja membeli sarang walet dengan harga lebih mahal.

Pemilik rumah walet lain tentu saja mengetahui harga baru ini dan mereka beramai-ramai menyamakan nilai jual dengan harga baru ini. Naiklah harga sarang burung. Setelah harga kian tinggi, eksportir ini mengeluarkan stok, tentu saja dengan harga baru, sehingga untungnya berlipat.

Taktik serupa ini sering teijadi. Wajar jika para eksportir biasanya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi trik dagang itu. “Saya selalu punya stok satu ton,” ungkap pebisnis sarang walet yang tak mau disebutkan namanya. Stok tersebut kira-kira sama dengan volume jualnya per bulan.

Para pemain sarang walet memang mampu menyimpan sarang burung dalam jumlah relatif besar. Ini didukung oleh modalnya yang besar. Modal itu membuat mereka mempunyai bargaining position kuat.

Saat diliput Trubus, harga jual US$1.700 – US$2.000, tergantung kualitas. “Waktu kurs dolar terhadap rupiah tinggi, sarang bisa langsung dilepas. Sebaliknya jika rendah, sarang disimpan dulu, 10 hari atau lebih,” kata Iyok menggambarkan kemampuannya menahan barang.

Fluktuasi harga memang ada, meskipun tidak terlalu besar. Yang pasti, perbedaan nilai muncul karena kualitas yang tidak sama. Dikenal sarang balkon, super, biasa, pecahan, dan sarang merah. Harganya berbeda-beda.

Bahkan untuk sarang super pun masih dibedakan antara harga yang kotorannya banyak dan sedikit, atau kadar air banyak/sedikit. Sarang berkadar air 10% akan dihargai 90% dari harga standar; kadar air 20%, nilainya 80%.

Untuk negosiasi harga, Shinta Dewi menganjurkan pemasok membawa contoh dahulu. “Asal jangan mostemya baik, lalu yang dibawa belakangan jelek, apalagi dicampur sarang palsu, pasti ditolak,” kata Shinta yang menampung sarang walet dari Cirebon, Indramayu, Serang, Pandeglang, Semarang, Padang, dan Bangka.

Harga sarang walet memang sangat menggiurkan. Karena itu pula ia sering menjadi objek penipuan. Yang dirugikan para eksportir, atau mungkin penampung besar, karena yang bikin ulah biasanya makelar.

Sarang dibuat lebih berat dengan cara menyalipkan lempengan besi. Mendeteksinya cukup dengan mengambil contoh, lalu ditimbang. Jika melebih bobot standar berarti ada apa-apanya. Sarang normal berukuran 3—4 jari dalam lkg berisi 120—130 keping. Sarang balkon yang berukuran lebih besar dan tebal sekitar 80 keping per kilogram.

Kecurangan lain yang tidak kalah marak adalah mempertebal sarang dengan beras ketan. Ketan yang sudah ditanak dibuat adonan, selanjutnya dioleskan pada sarang. Sepintas tambalan itu tidak tampak saking rapinya pengeijaan.

Namun jika diperhatikan seksama, sarang walet asli terlihat lebih mengkilap. Ada juga sarang walet palsu yang dibuat utuh dari adonan kacang hijau. Tampilannya mirip sarang asli, tapi jika dipotes lebih regas. (Karjono)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.