sultan mahesa

Gua Kalama : Gua Walet Si pencetak Rupiah

Kepulauan Sangihe Talaud, kabupaten di ujung utara Sulawesi Utara, tidak hanya kaya dengan pala. Sejumlah pulau kecilnya masih menyimpan potensi lain: gua-gua pencetak “liur mas”. Namun, hanya dua lokasi gua saja yang dinikmati hasilnya. Gua walet di P. Mahoro, Kec. Siau Timur dan gua di P. Kalama Kec. Manganitu Selatan. Koresponden Harian Regional, Tommy E. Danie melaporkan hasil pandangan matanya di sana.

Di atas deburan ombak Laut Sulawesi, setiap pagi dan sore walet beterbangan menghiasi angkasa. Mereka meenyusuri selat-selat sempit di antara pulau-pulau kecil yang bertebaran di sana sambil mencari serangga-serangga kecil bernasib sial untuk dimakan.

Setelah kenyang mereka menyusup ke dalam gua-gua pantai di pulau-pulau kecil yang jauh di tengah laut. Sulitnya mencapai lokasi gua membuat masyarakat di Kabupaten Sangihe Talaud lebih senang mengurus kebun pala mereka.

Keengganan penduduk memetik sarang walet itu terlihat ketika Harian Regional datang. Begitu sampai di P. Mahoro, hujan deras sedang membasahi pulau di Kecamatan Siau Timur itu. Penjaga menganjurkan untuk mengurungkan niat mendekati gua walet yang disewa-kelola Rp100-juta per tahun tersebut. Amukan ombak saat itu memang mendebarkan, padahal air sedang surut. Alhasil, Harian Regional terpaksa kembali ke Siau tanpa sempat menikmati suasana gua abrasi bernilai ratusan juta rupiah.

Kubah air

Keesokan harinya, dengan menumpang pamboat, perjalanan dialihkan ke P. Sangir Besar untuk melihat gua walet yang dikelola rakyat. Perjalanan ke pulau itu benar-benar menegangkan dan melelahkan. Betapa tidak. Tujuh jam lamanya perahu kami harus membelah ombak laut sebelum menepi ke Pelabuhan Lapango di Desa Tamako pada sore menjelang malam.

Di sana, Harian Regional disambut Jefri Makapedua penduduk P. Kalama. Pukul 08.00 keesokan harinya kami bertolak menuju Kalama dan tiba dua jam kemudian.

Setelah bertemu kepala desa, kami pun menuju gua ditemani Abner, seorang penduduk. Namun, “restu” kepala desa ternyata bukan jaminan perjalanan ke gua walet akan mulus. Buktinya, sepanjang perjalanan kami disambut tatapan mata penuh curiga. Memang gua walet yang dituju sempat diperebutkan pihak Pemda Sangihe Talaud dan penduduk setempat.

Gua Kalama berada dekat dengan lokasi pemukiman. Letaknya di dasar tebing. Seperti gua walet di P. Mahoro, Siau, jalan masuk ke gua abrasi itu juga tergenang air sedalam 3 meter. Bersama beberapa anggota pengumpul KUD Bintuang Kalama, Harian Regional berenang masuk ke gua.

Ada dua jalan masuk ke gua berdiameter 30 meter dan berbentuk seperti kubah air itu. Masjng-masing diberi bentangan tali sebagai pegangan, terutama bila ombak sedang kuat. Pada salah satu jalan masuk diletakkan dua bilah balok melintang di atasnya untuk mengangkat hasil panen agar tidak basah.

Ruangan gua itu benar-benar gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah kedua pintu tersebut. Itu pun hanya samar-samar saja. Sebab walaupun tinggi jalan masuk mencapai 5 meter, tetapi bagian yang berada di permukaan air tak lebih dari dua meter saja. Panjang lorong sebelum mencapai kubah sarang pun sekitar 10m.

Karena itu selain gelap, gemuruh ombak di luar gua juga hampir tak terdengar. Tempat berpijak di dalam kubah hanya ada di sekitar dinding. Di tengah-tengahnya digenangi air, sementara bagian bawah dinding-dinding penuh tumpukan kotoran walet.

Mirip pasar

Dengan cahaya senter terlihat ribuan sarang menempel di langit-langit kubah yang cukup tinggi. Pengambilan sarangnya melibatkan banyak orang. Di tengah kubah terdapat sebatang bambu sepanjang 12m. Sisi-sisinya diikatkan bilah-bilah kayu sebagai tempat panjatan. Kira-kira 2m dari ujung bambu diberi dua palang bambu. Dengan begitu pemanen bisa leluasa bergerak. Cara panennya tidak dengan tangan langsung melainkan dicongkel menggunakan sebilah bambu.

Beberapa orang di bawah bertugas mengarahkan senter ke sarang yang akan dipanen. Beberapa orang lagi bersiap di bawah menjaga agar sarang congkelan tidak sampai jatuh ke air. Suasananya sungguh riuh, benar-benar mirip pasar. Tidak khawatir mengganggu walet? “Paling hanya satu dua walet yang tinggal menjaga anaknya,” jelas Chandra Takser, ketua II KUD Bintuang.

Ketika senter diarahkan ke sarang yang sedang ditunggui walet, terlihat sang walet begitu tenang, sama sekali tak menunjukkan perilaku terganggu. Hanya saja ketika Harian Regional hendak memotret sarang di langit-langit, Chandra mencegahnya. “Jangan, cahaya blitz bisa membuat mereka kaget.” Selain itu, ada semacam poso-poso (pamali, Red) bila memotret sarang walet ini. Mungkin gara-gara patuh terhadap poso-poso, kian banyak walet yang datang membuat sarang. Padahal suasana panen begitu ramai, bertolak belakang dengan suasana panen di tempat lain yang biasanya hening.

Seleksi sarang

Panen hanya berlangsung satu jam. Padahal ribuan sarang lain masih menempel di ceruk-ceruk kubah. “Belum waktunya dipanen. Ada yang masih memiliki telur atau berisi anakan,” ujar Osman, si tukang congkel menjawab pertanyaan Harian Regional. Menurutnya, sarang yang diambil tersebut sisa panen bulan sebelumnya. Di KUD itu Osman memang spesialis pemanen sarang sisa. Dia hafal benar sarang tua layak panen.

Setelah si tukang congkel turun mereka bersiap keluar gua. Karung plastik berisi sarang walet hasil panen dicantelkan ke tali dan ditarik ke luar hingga ke mulut gua. Di sana sudah ada orang yang siap memindahkan karung ke tali yang dijulurkan dari atas tebing. Di atas tebing, ada orang lain lagi yang bertugas mengerek tali untuk ’’menimba” sarang.

Suasana akrab dan bersahabat yang dirasakan Harian Regional selama berada di dalam gua sirna begitu kembali ke desa. Wajah-wajah penuh curiga kembali menyambut kedatangan kami. Bahkan tak hanya Harian Regional, rekan-rekan mereka yang bersama ke gua pun ikut dicurigai. Jangan-jangan ada sarang yang disembunyikan lantas dijual. Maklum, sebuah sarang bernilai Rp25.000—Rp30.000. Semua hasil panen memang harus disetor ke koperasi. Dari koperasi sarang berbobot hampir 2kg itu kemudian akan “dijemput” pembeli tetap. Harganya saat ini Rp8-juta per kg.

Sarang dari gua Kalama biasanya dipanen dua kali setahun, Februari dan Agustus. Panen Februari tidak banyak, hanya 80kg—130kg saja. Sedangkan panen Agustus berkisar 200kg— 220kg. “Mungkin bulan Juni – Juli merupakan puncak masa kawin walet yang berdiam di gua Kalama,” Abner memperkirakan. Pada 1999 total panen 340kg, lebih tinggi 60kg dibanding tahun sebelumnya yang hanya 280kg. Namun ke mana sarang walet itu dipasarkan oleh pembeli mereka, tak seorang pun penduduk mengetahuinya.

Sewa kelola

Gua walet mirip Kalama, menurut Michael Wangko, peneliti burung Sangir Talaud dari Action Sampiri, masih banyak yang belum termanfaatkan. “Pulau-pulau kecil :ak berpenghuni di sana banyak menyimpan gua-gua abrasi yang berisi walet,” jelas Michael Wangko. Sayangnya pulau-pulau itu berada jauh ke tengah laut sehingga sulit dijangkau.

Kalau bisa dijangkau, salah satu sistem pengelolaannya ialah sewa lokasi. Contohnya gua walet di P. Mahoro. Gua ini dikelola Ci Mey, seorang pengusaha kapal di Siau. Ia menyewa lokasi itu selama lima tahun, sebelum berpindah ke tangan Ci Mey, gua itu dikelola seorang pengusaha lain selama 15 tahun.

Sewa kelola pula yang pernah dilakukan terhadap gua walet Kalama. Menurut Abner, gua Kalama pada 1970-an pernah dikelola pengusaha dari Tahuna, ibukota kabupaten. Pada 1976 Camat Manganitu Selatan waktu itu mengambil alih pengelolaannya. Sepuluh tahun kemudian dikelola seorang perwira Angkatan Darat. Selepas itu, berpindah tangan lagi selama 5 tahun sebelum Pemda Sa-Tal mengelolanya pada 1997.

“Selama itu penduduk Kalama hanya jadi penonton saja,” kisah Abner. Namun seiring derasnya arus demokrasi, masyarakat Kalama menuntut pengembalian aset desa itu. Akhirnya sejak September 1999 gua walet itu dikelola masyarakat dalam bentuk koperasi. “Koperasi pengelola sarang walet ini mungkin yang pertama di Indonesia,” jelas Egong Makauntung, ketua KUD Bintuang Kalama, sembari tersenyum.***

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.